Hukum Shalat Berjama’ah Wajib Ataukah Sunnah?
Oct 14th, 2009 by admin
Dapatkan Buku Islam Diskon hanya di e-Salim.com!
Tidak disangsikan lagi permasalahan ibadah merupakan inti ajaran Islam. Syari’at sangat memperhatikan permasalahan ini, karena ia merupakan perwujudan aqidah seseorang. Bahkan Allah Ta’ala menjadikannya sebagai tujuan penciptaan manusia, dalam firman-Nya:
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.“ [QS.Adz Dzariyaat :56]
Diantara ibadah yang agung dan penting adalah shalat, karena ia merupakan amalan terbaik seorang hamba, sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Artinya: “Beristiqamahlah dan kalian tidak akan mampu istiqamah yang sempurna. Ketahuilah sebaik-baiknya amalan kalian adalah shalat dan tidaklah menjaga wudhu kecuali seorang mukmin.“ [1]
Apalagi shalat telah diwajibkan Allah terhadap kaum mukminin, sehingga sudah selayaknya kita memperhatikan permasalahan ini. Tentunya berharap dapat menunaikannya secara sempurna.
Kedudukan Shalat dalam Islam
Shalat tidak diragukan memiliki kedudukan tinggi dalam Islam. Ia adalah rukun kedua dan tiangnya agama. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Artinya: “Pemimpin segala perkara (agama) adalah Islam (syahadatain) dan tiangnya adalah shalat“.[2]
Seluruh syariat para Rasul menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk menunaikannya, sebagaimana Allah berfirman menjelaskan do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam :
Artinya: “Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Rabb kami, perkenankan do’aku.“ [QS. Ibrahiim :40]
dan Allah Ta’ala mengisahkan Nabi Ismail ‘Alaihissalam :
Artinya: “Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang di ridhoi di sisi Rabbnya.“ [QS.Maryam :55]
Demikian juga menyampaikan berita kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam :
Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.“ [QS.Thaahaa :14]
Nabi Isa ‘Alaihissalam menceritakan nikmat yang beliau peroleh dalam ayat Al Qur’an yang berbunyi:
Artinya: “Dan dia menjadikan aku seorang yang berbakti di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup” [QS. Maryam :31]
Bahkan Allah Ta’ala mengambil perjanjian Bani Israil untuk menegakkan shalat. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):”Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.“ [QS.Al Baqarah :83]
Demikian juga Allah perintahkan hal itu pada Nabi Muhamad Shallallahu’alaihi Wasallam dalam firman-Nya:
Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.“ [QS. Thaha:132]
Demikian tingginya kedudukan shalat dalam Islam sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikannya pembeda antara mukmin dan kafir. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Artinya: “Perjanjian antara aku dan mereka adalah shalat barang siapa yang meninggalkannya maka telah berbuat kekafiran.“[3]
Memang orang yang meninggalkan shalat akan lebih mudah meninggalkan yang lainnya, kemudian terputuslah hubungannya dari Allah Ta’ala. Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan dalam surat beliau kepada Umar: “Ketahuilah perkara yang paling penting padaku adalah shalat, karena orang yang meninggalkannya akan lebih mudah meninggalkan yang lainnya dan ketahuilah Allah Ta’ala memiliki satu hak di malam hari yang tidak Dia terima di siang hari dan satu hak di siang hari yang tidak diterima di malam hari. Allah tidak menerima amalan sunnah sampai menunaikan kewajiban”.[4]
Hukum Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah disyari’atkan dalam Islam, akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya dalam empat pendapat:
1. Hukumnya fardhu kifayah.
Ini merupakan pendapatnya Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqadimin dan banyak ulama Hanafiyah dan Malikiyah.
Al Haafidz Ibnu Hajar berkata: “Zhahirnya nash (perkataan) Syafi’I, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddim dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah”[5]. Dalil mereka:
Hadits pertama:
Artinya:“Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat kecuali Syeithon akan menguasainya. Berjamaahlah kalian, karena srigala hanya memangsa kambing yang sendirian”[6]. As Saaib berkata: “Yang dimaksud berjamaah adalah jamaah dalam shalat.”[7]
Hadits kedua:
Artinya: “Kembalilah kepada ahli kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka serta ajari dan perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaiamana kalian melihat aku shalat. Jika telah datang waktu shalat hendaklah salah seorang kalian beradzan dan yang paling tua menjadi imam.“ [8]
Hadits ketiga:
Artinya: “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Shalat berjamaah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.‘” [9]
2. Dihukumi sebagai syarat sah shalat. Shalat tidak sah tanpa berjama’ah kecuali dengan adanya udzur (hambatan).
Ini pendapat zhahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama diantaranya: Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Aqiil dan Ibnu Abi Musa. Diantara dalil mereka:
Hadits pertama:
Artinya: “Barang siapa yang mendengar adzan lalu tidak datang maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur.“ [10]
Hadits kedua:
Artinya: “Demi dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjamaah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” [11]
Hadits ketiga:
Artinya: “Seorang buta mendatangi Nabi n dan berkata: “wahai Rasulullah aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid”. Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah n sehingga boleh shalat dirumah. Lalu beliau n memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan nabi n langsung Rasulullah memanggilnya dan bertyanya: “apakah anda mendengar panggilan adzan shalat? Dia menjawab: “ya”. Lalu beliau berkata: “penuhilah!”.” [12]
3. Hukumnya sunnah muakkad
Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil Barr menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaaj. Dalil mereka:
Hadits pertama:
Artinya: “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah n bersabda: Shalat berjamaah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.“ [13]
Hadits Kedua:
Artinya:“Sesungguhnya orang yang mendapat pahal paling besar dalam shalat adalah yang paling jauh jalannya kemudian yang lebih jauh. Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat kemudian tidur. Dalam riwayat Abu Kuraib: sampai shalat bersama imam dalam jama’ah.“ [14]
Imam Asy Syaukaniy menyatakan setelah membantah pendapat yang mewajibkannya: “Pendapat yang pas dan mendekati kebenaran, shalat jamaah termasuk sunah-sunah yang muakkad. Adapun hukum shalat jama’ah adalah fardhu ‘ain atau kifayah atau syarat sah shalat maka tidak”. Hal ini dikuatkan oleh Shidiq Hasan Khon dan pernyataan beliau: “Adapun hukumnya fardhu, maka dalil-dalil masih dipertentangkan. Akan tetapi disana ada cara ushul fiqh yang mengkompromikan dalil-dalil tersebut, yaitu hadits-hadits keutamaan shalat jama’ah menunjukkan keabsahan shalat sendirian. Hadits-hadits ini cukup banyak, diantaranya :
Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. Hadits ini dalam kitab shohih.
Juga diantaranya hadits orang yang salah shalatnya yang sudah masyhur, dimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkannya mengulangi shalat sendirian. Ditambah dengan hadits:
Artinya: “Seandainya ada seorang yang bersedekah kepadanya“ [15]
Ketika melihat seorang shalat sendirian. Diantara hadits-hadits yang menguatkan adalah hadits yang mengajarkan rukun islam, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memerintahkan orang yang diajarinya untuk tidak shalat kecuali berjama’ah. Padahal beliau mengatakan kepada orang yang menyatakan saya tidak menambah dan menguranginya: “aflaha in shadaqo” (telah beruntung jika benar) dan dalil-dalil lainnya. Semua ini dapat memalingkan sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam: “fa laa sholaata lahu” yang ada pada hadits-hadits yang menunjukan kewajiban berjam’ah kepada peniadaan kesempurnaan bukan keabsahannya”[16]. Pendapat ini dirajihkan As Syaukani dan Shidiq hasan Khon serta Sayyid Saabiq.[17]
4. Hukumnya wajib ain (fardhu ‘ain) dan bukan syarat
Ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ariy, Atha’ bin Abi Rabbaah, AL Auzaa’iy, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibaan, kebanyakan ulama Hanafiyah dan madzhab Hambali. Dalil mereka:
Firman Allah Ta’ala :
Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat,lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.“ [QS. An Nisaa':102]
Dalam ayat ini terdapat dalil yang tegas akan kewajiban shalat berjamaah. Shalat jamaah tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan udzur seperti ketakutan atau sakit.
Firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’“.[QS. Al Baqarah :43]
Ini adalah perintah, kata perintah menunjukkan kewajibannya.
Firman Allah Ta’ala:
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat.Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. [QS. Annur :36-37]
Firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Katakanlah:”Rabbku menyuruh menjalankan keadilan”. Dan (katakanlah):”Luruskan muka (diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta’atanmu kepadaNya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya”“. [QS.Al A'raf :29]
Kedua ayat ini ada kata perintah yang menunjukkan kewajibannya.
Firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.“ [QS. Al Qalam :42-43]
Ibnul Qayyim berkata: “Sisi pendalilannya adalah Allah Ta’ala menghukum mereka pada hari kiamat dengan memberikan penghalang antara mereka dengan sujud ketika diperintahkan untuk sujud. Mereka diperintahkan sujud didunia dan enggan menerimanya. Jika sudah demikian maka menjawab panggilan mendatangi masjid dengan menghadiri jamaah shalat, bukan sekedar melaksanakannya di rumahnya saja”.
Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
Artinya: “Demi dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjamaah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka“[18]
Ibnu Hajar dalam menafsirkan hadits ini menyatakan: “Adapun hadits bab (hadits diatas) maka zhahirnya menunjukkan shalat jamaah fardhu ‘ain, karena seandainya hanya sunnah tentu tidak mengancam peninggalnya dengan pembakaran tersebut. Juga tidak mungkin terjadi pada peninggal fardhu kifayah seperti pensyariatan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardhu kifayah”[19]. Demikian juga Ibnu Daqiqil’Ied menyatakan: “Ulama yang berpendapat bahwa shalat jamah hukumnya fardhu ‘ain berhujah dengan hadits ini, karena jika dikatakan fardhu kifayah, kewajiban itu dilaksanakan oleh Rasulullah dan orang yang bersamanya dan jika dikatakan sunnah, tentunya tidaklah dibunuh peninggal sunnah. Dengan demikian jelaslah shalat jamaah hukumnya fardhu ‘ain”.[20]
Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
Artinya: “Seorang buta mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan berkata: “wahai Rasulullah aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid”. Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sehingga boleh shalat dirumah. Lalu beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan nabi n langsung Rasulullah memanggilnya dan bertyanya: “apakah anda mendengar panggilan adzan shalat? Dia menjawab: “ya”. Lalu beliau berkata: “penuhilah!”“.[21]
Ibnu Qudamah berkata setelah menyampaikan hujahnya dengan hadits ini: “Jika orang buta yang tidak memiliki orang yang mengantarnya tidak diberi keringanan, maka selainnya lebih lagi”[22]
Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
Artinya: “Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat kecuali setan akan menguasainya. Berjamaahlah kalian, karena srigala hanya memangsa kambing yang sendirian” . [23]
Nash-nash ini menunjukkan kewajiban shalat berjama’ah. Pendapat ini dirajihkan oleh Lajnah Daimah lil Buhuts Wal Ifta’ (komite tetap untuk riset dan fatwa Saudi Arabia) [24] dan Syaikh Prof. DR. Sholeh bin Ghanim As Sadlaan dalam kitabnya “Shalatul Jama’ah“ [25] serta sejumlah ulama lainnya. Wallahu a’lam
***
Footnote:
1. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, kitab Thaharoh Wa Sunanuha, bab Al Muhafadzah Alal Wudhu No. 253, Ahmad dalam Musnad-nya No. 21400 dan 21344 dan Ad Darimi dalam Sunan-nya, kitab Thaharah, bab Ma Ja’a fith Thuhur No.653.
2. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Al Iman bir Rasulillah Shallallahu’alaihi Wasallam no. 3541 dan Ahmad dalam Musnad-nya no. 21054, At Tirmidzi berkata: “Ini hadits hasan shahih”.
3. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Jami’-nya (Sunan-nya), kitab Iman Bir Rasulillah N Bab Ma Ja’a Fi Tarki Shalat no. 2545 dan An Nasa’I dalam Sunan-nya kitab Shalat, bab Al Hukmu Fi Taarikis Shalat no. 459. dengan sanad yang shahih.
4. Dinukil oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 22/40.
5. Fathul Baari 2/26.
6. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, bab At Tasydiid Fi Tarkil Jama‘ah no.460, An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Imaamah, bab At Tasydiid Fi Tarkil Jama’ah no.738 dan Ahmad dalam Musnad-nya no. 26242.
7. Lihat penukilan Abu Dawud setelah menyampaikan hadits di atas.
8. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Adzaan, Bab Al Adzaan Lil Musaafir Idza Kaanu Jama’atan Wal Iqamah Kadzaalik no. 595 dan Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid Wa Mawaadhi’ Ash Shalat, bab Man Ahaqu Bil Imamah no. 1080.
9. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya kitab Al Adzaan, Bab Fadhlu Shalatul Jama’ah no. 609.
10. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masaajid Wal Jama’ah, bab At Taghlidz Fi Attakhalluf ‘Anil Jama’ah no. 785. hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih sunan Ibni Maajah no. 631.
11. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya kitab Al Adzaan, bab Wujubu Shalatil Jama’ah no. 608 dan Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid Wa Mawaadhi’ shalat, bab Fadhlu Shalatil Jamaah Wa Bayaani Attasydiid Fit Takhalluf ‘Anha no. 1041.
12. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid Wa Mawaadhi’ Shalat, bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a Annida’ no. 1044.
13. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya kitab Al Adzaan, Bab Fadhlu Shalatul Jama’ah no. 609.
14. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid Wa Mawaadhi’ Shalat, bab Fadhlu Katsrotil Khutha Ilal Masaajid, no.1064.
15. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya no. 11380.
16. Raudhatun Nadiyah Syarah Durarul Bahiyah 1/306.
17. Fiqhus Sunnah 1/248
18. Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shohihnya kitab Al Adzaan, bab Wujubu Shalatil Jama’ah no. 608 dan Muslim dalam Shohih-nya kitab Al Masaajid Wa Mawaadhi’ Shalat, bab Fadhlu Shalatil Jamaah Wa Bayaani Attasydiid Fit Takhalluf ‘Anha no. 1041.
19. Fathul Baari 2/125
20. Ihkamul Ahkaam 1/124.
21. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid Wa Mawaadhi’ Shalat, bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a Annida’ no. 1044.
22. Al Mughni 3/6.
23. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, bab At Tasydiid Fi Tarkil Jamaah no.460, An Nasa’I dalam Sunan-nya, kitab Al Imaamah, bab At Tasydiid Fi Tarkil Jama’ah no.738 dan Ahmad dalam Musnad-nya no. 26242.
24. Fatawa Lajnah Daimah 7/283.
25. Shalatul Jama’ah, Hal. 72
***
Artikel Islam dari ustadzkholid.com
Kemudahan Ajaran Islam dalam Hal Puasa
Aug 31st, 2009 by admin
Dapatkan Buku Islam Diskon hanya di e-Salim.com!
Oleh Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar
Perbedaan antara hukum buatan manusia dengan hukum buatan Rabb mereka sama seperti perbedaan antara manusia dengan Rabb mereka.
Oleh karena itu, hukum buatan manusia yang diperuntukkan bagi manusia itu memiliki banyak kekurangan, bengkok, terkadang berlebihan, terkadang mengabaikan banyak hal, terkadang benar dan tidak jarang salah. Sedangkan hukum buatan Rabb Yang Mahabijaksana lagi Mahamengetahui datang dengan memenuhi segala kebutuhan manusia, memperbaiki kehidupan mereka, meluruskan kebengkokan yang ada pada diri mereka, dengan tetap memperhatikan kelemahan dan unsur kemanusiaannya serta berbagai keadaan yang mempengaruhinya.
Dari sini muncul kemudahan dan toleransi Islam di seluruh syari’at-Nya. Alhamdulillaah, syari’at yang diberikan kepada kita mengungguli seluruh syari’at agama samawi lainnya, di mana ia tidak membebani para penganut (syari’at Islam) dan yang bernaung padanya dengan hal-hal yang tidak mereka mampu. Dengan demikian, pondasi dasarnya adalah pemberian kemudahan dan keringanan serta peniadaan kesulitan.
Bagi orang yang mau menganalisa sumber syari’at ini, niscaya dia akan mendapatkan makna yang jelas dan terang. Dengan demikian, nash-nash dari al-Qur-an dan hadits-hadits Nabawi yang membahas makna ini terbagi menjadi lima bagian. [1]
Pertama: Dalil Tentang Peniadaan Kesulitan
Di antaranya firman Allah Ta’ala:
“Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, agar kalian bersyukur.” [ Al-Maa-idah: 6]
Dan firman-Nya:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tua kalian, Ibrahim.” [Al-Hajj: 78]
Kedua: Dalil yang Menunjukkan Pemberian Kemudahan dan Keringanan
Di dalamnya tidak mengandung penentuan terhadap peniadaan kesulitan, seperti firman-Nya:
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” [Al-Baqarah: 185]
Dan juga firman-Nya:
“Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” [An-Nisaa : 28]
Ketiga: Penjelasan Mengenai Toleransi Agama Islam dan Kemudahan yang Diberikannya
Sesungguhnya Rasulullah j sangat pengasih dan penyayang kepada umatnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. “[At-Taubah: 128]
Keempat: Kekhawatiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk Memberatkan Umatnya
Sebagaimana sabda beliau j dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
“Kalau bukan aku takut memberatkan umatku, niscaya aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak…” [2]
Kelima: Para Sahabat Diperintahkan untuk Memberi Keringanan dan Dilarang Mempersulit
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Wahai Mu’adz, apakah Engkau ingin menebar fitnah? Bacalah: ‘Sabbihisma Rabbikal a’laa,’ ‘wal laili idzaa yaghsyaa,’ ‘Wadhdhuhaa.‘” [3]
Allah Ta’ala berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. ” [Al-Baqarah: 185]
Inilah kaidah besar dalam taklif aidah ini secara keseluruhan, di mana ia sangat mudah dan tidak ada kesulitan sama sekali padanya. Ia memberikan inspirasi kepada hati yang dirasa dengan sangat mudah dalam menjalani kehidupan ini secara keseluruhan, serta mewarnai jiwa orang muslim dengan karakter khusus yang penuh dengan toleransi yang tidak membebani dan tidak juga mengandung ketidaksempurnaan. Sebuah toleransi yang bersamanya semua taklif, kewajiban, dan semangat hidup mulia dijalankan. Seakan-akan ia merupakan aliran air yang mengalir dan pertumbuhan pohon yang tumbuh membesar dengan penuh ketenangan, kepercayaan diri, keridhaan, disertai rasa mendapat rahmat Allah Ta’ala yang terus-menerus dan kehendak-Nya adalah kemudahan, bukan kesulitan terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.
[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Ash-Shaum wal Ifthaar li Ash-haabil A’dzaar, Dr. Faihan al-Muthiri, hal. 21.
[2]. Diriwayatkan oleh Muslim. Lihat kitab Shahiih Muslim (I/151).
[3]. Diriwayatkan oleh Muslim. Lihat Shahiih Muslim (II/42)